Perdamaian Giyanti yang ditandatangani pada 22 Rabiulakhir 1680 dalam
kalender Jawa, atau 12 Februari 1755, telah membagi kekuasaan Tanah Jawa
menjadi Kasusunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Pembangunan
bangunan inti Keraton Kasultanan Ngayogyakarta selesai pada 7 Oktober
1756, yang kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai hari jadi Kota
Yogyakarta.
Bahasa Sansekerta telah berpengaruh dalam budaya dan sastra Jawa kuno.
Sebuah petunjuk tentang asal nama Yogyakarta. Nama “Ngayogyakarta”
rupanya berasal dari bahasa Sansekerta
Ayodhya (bahasa Jawa: “
Ngayodya”), demikian menurut Peter B.R. Carey yang mengungkapkan hal tersebut dalam tulisannya
Jalan Maliabara ('Garland Bearing Street'): The Etymology and Historical Origins of a much Misunderstood Yogyakarta Street Name, yang terbit dalam jurnal Archipel, Volume 27, 1984
.
Dari penjelasan Carey tersebut, sepertinya kita harus menghormati
kearifan pendiri kota ini dengan tetap melafalkan "Yogya" meskipun nama
kota ini kerap ditulis sebagai "Jogja".
Ayodhya, menurutnya, merupakan kota dari Sang Rama, seorang pahlawan
India dalam wiracarita Ramayana. Demikian juga dengan nama Jalan
“Maliabara”—atau yang biasa ditulis sebagai Malioboro—Carey berpendapat
istilah itu diduga diadopsi juga dari bahasa Sansekerta “
malyabhara”.
Istilah Sansekerta “
malya” (untaian bunga), “
malyakarma” (merawat untaian bunga), “
malyabharin”
(menyandang untaian bunga) menurut Carey dapat ditemukan dalam kisah
Jawa kuno. Ketiganya bisa dicari dalam kitab Ramayana abad ke-9, kitab
Adiparwa dan Wirathaparwa abad ke-10, dan juga Parthawijaya abad ke-14.
Sayangnya, ungkap Carey dalam jurnal tersebut, istilah tersebut
tampaknya tidak ditemukan dalam naskah kontemporer yang berkait dengan
pendirian Keraton Ngayogyakarta oleh Mangkubumi pada pertengahan abad
ke-18.
 |
Suasana Jalan Malioboro pada 1933. Lokasi foto ini sekitar depan Hotel Garuda sekarang. |
Namun, pada kenyataannya Jalan Maliabara menjadi
rajamarga yang
berfungsi sebagai jalan raya seremonial yang membelah jantung kota,
menautkan hubungan sakral nan filosofis antara Keraton dan Gunung
Merapi. Carey mencoba menengok tradisi dalam kota India dengan jalan
raya utama yang membentang dari Timur ke Barat dan dari Utara ke
Selatan. Malioboro [Maliabara] membentang dari Selatan ke Utara, dan
kemungkinan sebagai rajamarga atau jalan sang raja.
Sebagai jalan raya utama atau rajamarga, segala upacara penyambutan
tamu agung sejak gubernur lenderal di zaman Hindia Belanda sampai
presiden di zaman sekarang selalu melintasi jalan bersejarah tersebut.
Penjelasan Carey dalam jurnal tersebut secara arif menegaskan kembali bahwa Maliabara bukan berasal dari nama “
Marlborough” yang mengacu kepada sosok orang Inggris, John Churchill, First Duke of Marlborough (1650-1722).
 |
Sebuah penanda
kota di Jalan Malioboro yang akrab dijuluki warga sebagai "Ngejaman"
lantaran terdapat jam listrik. Foto awal abad ke-20 |
 |
Suasana Jalan Malioboro di sebelah ujung utara. Kini, sebelah kiri adalah Jalan Abu Bakar Ali. Foto sekitar awal abad ke-20 |
“Argumen yang pernah disampaikan beberapa pihak bahwa Keraton
Yogyakarta mengganti nama jalan utama ibu kota mereka karena begitu
terkesan dengan Inggris dan Letnan-Gubernur Thomas Stamford Raffles,”
tulis Carey, “harus jelas ditolak sebagai alasan yang tidak masuk
akal.”
Dari pemerian Carey tadi, tampaknya leluhur Kota Yogyakarta telah
menahbiskan nama “Maliabara” dengan merujuk bahasa Sansekerta
“malyabhara”. Mungkin kita bisa menafsirkan makna sastrawinya sebagai
“seruas marga sang raja dengan semarak untaian bunga-bunga”—keindahan
yang sempurna.